welcome to our blog. thank you for taking the visit on this blog

Senin, 25 April 2011

Atap Hijau di Belantara Beton Kota


Diambil dari Kompas, 7 Oktober 2007
Oleh: Evawani Ellisa, Pengajar di Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Gambar disamping adalah sebuah mal bernama Namba Park yang terletak di kota Osaka
Di kawasan kota yang telanjur padat, memperoleh lahan terbuka bukanlah soal mudah. DKI Jakarta dengan lahan seluas 66.126 hektar dan ruang hijau 9 persen atau 5.951 hektar, perlu membebaskan sekitar 13.000 hektar lahan bila ingin memenuhi patokan lazim 30 persen lahan terbuka hijau.
Jepang juga menghadapi persoalan sama. Sejak abad ke-17, sifat land hungry (lapar lahan) dalam praktik mengonsumsi lahan perkotaan telah menyebabkan tampilan kota di Jepang tak jauh berbeda dari kota besar Asia lainnya.
Karena lahan perkotaan telah telanjur disesaki bangunan, maka sasaran perolehan sel-sel hijau daun beralih pada hamparan atap datar gedung-gedung yang justru lebih banyak dibanjiri cahaya matahari. Sebenarnya gerakan atap hijau telah muncul di Jepang sejak awal abad ke-20 melalui konsep eco-roof, tetapi sifat pengembangannya masih ekstensif. Atap hijau jenis ini ditandai struktur atap beton konvensional dengan biaya dan perawatan taman relatif murah karena penghijauan atap hanya mengandalkan tanaman perdu dengan lapisan tanah tipis.

Gambar diatas adalah sebuah gedung dengan green roof yang sangat intensif dengan 35.000 pohon dari 76 jenis
Ketika Jepang semakin ketat menjaga lingkungan melalui pemberlakuan berbagai tolok ukur bangunan ramah lingkungan, para perancang mulai berpacu mencari solusi cerdas dalam memanfaatkan bidang datar atap bangunan. Salah satunya adalah intensifikasi taman atap, atau upaya memadukan sistem bangunan dengan sistem penghijauan atap sehingga dapat diciptakan taman melayang (sky garden). Berbeda dengan atap hijau ekstensif yang hanya menghasilkan taman pasif, atap hijau intensif dapat berperan sebagai taman aktif sebagaimana taman di darat.
Dengan lapisan tanah mencapai kedalaman hingga dua meter, atap hijau intensif mensyaratkan struktur bangunan khusus dan perawatan tanaman cukup rumit. Jenis tanaman tidak hanya sebatas tanaman perdu, tetapi juga pohon besar sehingga mampu menghadirkan satu kesatuan ekosistem.
Kerja sama
Rancangan, perwujudan, dan pengelolaan atap hijau intensif membutuhkan kerja sama dan keterlibatan bukan hanya kalangan arsitek, ahli pertamanan, sipil, mesin dan listrik, tetapi juga ahli lingkungan, biologi, pertanian, dan kesehatan. Inilah salah satu bentuk penerapan prinsip arsitektur berkelanjutan yang diformulasikan Richart J Dietrich, pendiri pusat riset Baubiologie (biologi bangunan) dan Biooekologi (ekologi bangunan) di Jerman. Ia menyebut arsitektur masa depan sebagai hasil rekayasa super-system yang ditandai kompromi selaras antara ranah teknologi dan ranah alam melalui pendekatan perancangan multidisiplin.
Walaupun investasi yang dibutuhkan untuk membuat atap hijau cukup tinggi, bukan berarti upaya peduli lingkungan ini bertentangan dengan semangat mengejar keuntungan ekonomi, terbukti kini banyak fasilitas komersial yang menerapkan konsep atap hijau intensif. Salah satu di antaranya adalah Namba Park, sebuah mal gaya hidup di pusat kota Osaka.
Jerde Partnership merancang Namba Park sebagai mal bertema gurun yang dipadu atap hijau berlapis-lapis menyerupai lahan terasering. Namba Park memiliki taman atap seluas 8.000 meter persegi dengan 40.000 tanaman, termasuk 35 jenis tanaman pohon dan 200 jenis tanaman bunga.
Sistem irigasi atap hijau Namba Park menggunakan teknik penyiraman sprinkle yang diadopsi dari metode tradisional pendinginan jalan di Jepang, yaitu air hujan yang mengalir melalui jalan ditampung di bawah perkerasan jalan untuk kemudian ditapis kembali ke permukaan jalan dengan sistem kapiler. Hasil penelitian menunjukkan, selama proses evaporasi suhu permukaan atap hijau dapat ditekan hingga 25° Celsius lebih rendah dibandingkan dengan permukaan aspal.
Atap hijau kompleks Namba Park terbukti mampu mengurangi dampak panas akibat kegiatan di dalam bangunan maupun panas yang dihantarkan sosok bangunan. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan perusahaan Obayashi selama tiga hari pada musim panas Agustus 2003 menunjukkan, rata-rata suhu atap hijau mencapai 17° Celsius lebih rendah dibandingkan dengan atap parkir di dekat Namba Park. Sedangkan panas yang ditransmisikan atap hijau ke dalam bangunan hanya mencapai sepersepuluh dari transmisi panas atap beton konvensional.
Diikuti
Menyadari banyaknya keuntungan dari atap hijau, Mori Building Company menerapkan cara yang sama terhadap salah satu kompleks superblok Roppongi Hills di Tokyo. Di atap kompleks Keyakizaka yang sekujur sosoknya dibalut kaca, perancang lanskap Yohji Sasaki merancang sawah mini dan kebun sayuran seluas 1.300 meter persegi. Di areal sawah dengan ketinggian 43 meter di atas tanah ini, para anggota Roppongi Hills Gardening Club dapat menyalurkan kerinduan dan keingintahuan mereka tentang cara bercocok tanam padi dan sayuran. Motto mereka dalam mengelola atap hijau adalah: “Hijaukan Roppongi Hills dengan Kedua Tangan Kita Sendiri”.
Atap hijau dengan konsep kebun percobaan juga ada di kompleks Sio-Site, kawasan peremajaan bekas pelabuhan di Tokyo yang didominasi 15 gedung pencakar langit. Sedangkan Hiroshi Hara menampilkan atap hijau sky way pada ketinggian 50 meter sebagai klimaks kompleks mixed use Stasiun Kyoto. Dari balik dinding pengaman transparan di sekeliling atap hijau Stasiun Kyoto, pengunjung dapat menikmati panorama kota tua Kyoto hingga ke batas cakrawalanya. Inilah sensasi taman melayang yang tidak dapat ditemukan pada taman di darat.
Manfaat atap hijau bukan hanya sebatas peningkatan nilai estetika dan penghematan energi, pengurangan gas rumah kaca, peningkatan kesehatan, pemanfaatan air hujan, serta penurunan insulasi panas, suara dan getaran, tetapi juga penyediaan wahana titik temu arsitektur dengan jaringan biotop lokal. Perannya sebagai “batu loncatan” menjembatani bangunan dengan habitat alam yang lebih luas seperti taman kota atau area hijau kota lainnya.


Fakta di atas dibuktikan melalui penelitian terhadap Next 21-Osaka, apartemen milik perusahaan Osaka Gas yang bangunan sekaligus penghuninya dijadikan obyek uji coba bangunan hemat energi. Persemaian biji-bijian yang dibawa 19 spesies burung pengunjung rutin atap hijau Next 21 dalam kurun waktu 15 tahun telah menghasilkan jaringan biotop lokal dengan 140 jenis tanaman dan pohon. Temuan ini lebih mengukuhkan peran atap hijau bukan hanya sebagai magnet baru bagi warga urban, tetapi juga sebagai media penarik kembali habitat flora fauna yang selama ini sempat tergusur kelabunya belantara beton kota.
Share

0 komentar:

Posting Komentar

thank for follow me

thank for follow me